by
Suprianto
PENDAHULUAN
Eksistensi perbankan syariah di Indonesia tidak terlepas dari sistem perbankan Indonesia secara umum. Sistem perbankan syariah mulai dikenal tahun 1992 dengan digulirkannya UU No. 7 Tahun 1992 yang memungkinkan bank menjalankan operasional bisnisnya dengan sistem bagi hasil. Pada tahun yang sama, lahir bank syariah pertama yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). Dengan demikian, inisiatif pengembangan ekonomi syariah yang diklaim dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi umat di Indonesia sudah diluncurkan sejak tahun 1992, yang ditandai dengan pendirian dan pengoperasian Bank Muammalat Indonesia.
Namun demikian, keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukum operasional bank yang menggunakan sistem syariah ini hanya dikategorikan sebagai bank dengan sistem bagi hasil dan tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat tercermin dari UU No. 7 Tahun 1992, di mana bank syariah hanya dipahami sebagai bank bagi hasil yang selanjutnya harus tunduk pada peraturan perbankan konvensional. Karena itu harus tunduk pada peraturan perbankan konvensional, maka kebutuhan masyarakat akan produk perbankan yang sesuai dengan syariah belum dapat terpenuhi dengan baik karena masih terbatasnya variasi produk yang pada umumnya mirip dengan produk-produk bank konvensional yang “disyariahkan” (Zubair, 2008).
Konsep perbankan syariah telah benar-benar masuk dalam Undang-Undang Perbankan Indonesia dengan disetujuinya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sebagai pengganti UU No. 7 Tahun 1992. Dalam undang-undang tersebut diatur secara rinci landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. UU tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka unit syariah (dual banking system) atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah.
Menindaklanjuti UU tersebut, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan ketentuan mengenai kelembagaan dan jaringan kantor bagi bank umum syariah (BUS) dan bank umum konvensional (BUK) yang membuka unit usaha syariah (UUS) dan kantor cabang syariah (KCS) serta ketentuan BPR Syariah (BPRS). Di samping itu, pemerintah juga mengeluarkan UU No. 23 Tahun 1999 yang mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab BI sebagai otoritas moneter dalam mengatur kebijakan bank konvensional dan bank syariah. Dari tugas pokok ini, terlihat bahwa BI diberi amanah oleh pemerintah untuk mengembangkan bank syariah dengan menyusun ketentuan dan menyiapkan infrastruktur sesuai karakteristik bank syariah.
Pengembangan perbankan syariah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengembangan sistem perbankan nasional seperti yang telah dicetuskan dalam grund design Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Sebagai tindak lanjut, BI mulai memberikan perhatian lebih serius terhadap pengembangan perbankan syariah, yaitu membentuk komite pengarah, komite ahli dan komite kerja pengembangan bank syariah. Komite ahli inilah yang merumuskan cetak biru pengembangan perbankan syariah di indonesia dengan kerangka waktu perencanaan 10 tahun ke depan (2002 – 2011) yang kemudian menjadi program kerja Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Berdasarkan blue print tersebut, sasaran pengembangan perbankan syariah adalah terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan; diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syariah; terciptanya sistem perbankan syariah yang kompetitif dan efisien; serta terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi masyarakat luas (Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia, 2002).
Perkembangan yang sangat signifikan yang berkaitan dengan landasan hukum perbankan syariah ditandai dengan disetujuinya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dalam UU tersebut, perbankan syariah dimungkinkan menerbitkan produk atau melakukan kegiatan usaha yang lebih luas dan bahkan dapat masuk pada kegiatan pembiayaan yang selama ini merupakan wilayah usaha pembiyaan. Perbankan syariah akan memiliki ruang lingkup kerja lebih jelas sehingga mereka tidak ragu dalam menjaring pasar.
Kehadiran UU Perbankan Syariah ini diharapkan akan dapat dijadikan payung hukum yang kuat dan mengayomi eksistensi perbankan syariah serta sekaligus sebagai landasan hukum bagi operasionalisasinya. Dengan adanya regulasi sedemikian rupa, akan memantapkan dukungan negara terhadap perkembangan perbankan syariah dan membuka kesempatan lebih besar untuk mendorong akselerasi perkembangan bank syariah ke depan.
Berdasarkan latar belakang diatas, tulisan ini mencoba mengkaji bagaimanakah akselerasi pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia.
PEMBAHASAN
A. Program Akselerasi Pengembangan Perbankan Syariah
Dalam rangka meningkatkan eksistensi perbankan syariah dalam lingkup perbankan nasional, Bank Indonesia telah merancang program akselerasi untuk periode 2007 – 2008. Tujuan program akselerasi pengembangan perbankan syariah (PAPBS) tersebut adalah mencapai share perbankan syariah sebesar 5% pada akhir tahun 2008 dengan tetap mempertahankan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Sesuai dengan program akselerasi, diproyeksikan bahwa bank syariah akan mencapai volume aset Rp.91,57 triliun, DPK Rp.73,33 triliun dan pembiayaan Rp.68,95 triliun (KPAPBS, 2007 - 2008).
Sasaran kebijakan dan program akselerasi 2007 – 2008 adalah:
1) Mendorong pertumbuhan dari sisi supply dan demand secara seimbang.
2) Memperkuat permodalan, manajemen dan sumber daya manusia (SDM) bank syariah.
3) Mengoptimalkan peranan pemerintah (otoritas fiskal) dan BI (otoritas perbankan & moneter) sebagai penggerak pertumbuhan.
4) Melibatkan seluruh stakeholder perbankan syariah untuk berpartisipasi aktif dalam program akselerasi sesuai dengan kompetensinya masing-masing.
Selanjutnya, terdapat 6 pilar program akselerasi pengembangan perbankan syariah, yaitu: penguatan kelembagaan bank syariah, pengembangan produk bank syariah, intensifikasi edukasi publik dan aliansi mitra strategis, peningkatan peranan pemerintah dan penguatan kerangka hukum bank syariah, penguatan SDM bank syariah, dan penguatan pengawasan bank syariah.
Tiga strategi akselerasi industri perbankan syariah adalah dibolehkannya kantor cabang konvensional bank umum dikonversi menjadi kantor cabang bank syariah, spin off unit usaha syariah menjadi bank umum syariah dan konversi bank konvensional menjadi bank umum syariah. Dalam rangka program akselerasi, strategi penetrasi pasar perbankan syariah meliputi kebijakan office channelling yang membuka kesempatan menawarkan layanan syariah pada cabang bank konvensional sehingga mendukung penetrasi perbankan syariah melalui peningkatan aksebilitas bagi masyarakat untuk mendapat layanan syariah. Kemudian penyesuaian terhadap strategi komumikasi dan aktivitas promosi perbankan syariah serta inovasi produk. Apabila strategi penetrasi pasar para pelaku perbankan syariah dimaksimalkan, maka akselerasi pertumbuhan yang diharapkan akan terwujud.
(1) Perkembangan Kinerja Perbankan Syariah
Target yang diharapkan dalam program akselerasi pengembangan perbankan syariah nampaknya belum terpenuhi terhadap Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Meskipun pada tahun 2008 industri perbankan syariah mengalami peningkatan volume usaha sehingga pada akhir 2008 mencapai Rp.49,55 triliun, namun pangsa terhadap total aset perbankan nasional hanya sebesar 2,14%. Di sisi penghimpunan dana, perkembangan DPK perbankan syariah yang mengalami tekanan akibat ketatnya persaingan penghimpunan dana (commercial risk), menunjukkan pertumbuhan sebesar 31,5% (yoy) atau mengalami penurunan dibandingkan pertumbuhan tahun 2007 sebesar 35,5%. Penurunan ini dipengaruhi oleh trend kenaikan suku bunga perbankan. Sementara kegiatan penyaluran dana oleh perbankan syariah melalui berbagai bentuk akad pembiayaan masih berjalan optimal, dengan laju pertumbuhan sebesar 36,7% (yoy) atau sama dengan laju pertumbuhan pembiayaan yang disalurkan sepanjang 2007. Laju pertumbuhan pembiayaan tersebut telah diikuti dengan kinerja pembiayaan yang sedikit membaik dengan NPF sebesar 3,95% cenderung menurun dibanding tahun 2007. Kurang kondusifnya kondisi ekonomi berdampak pada menurunnya profitabilitas perbankan syariah yang ditunjukkan oleh cenderung menurunnya return on asset (ROA) mencapai 1,57% pada 2008 dibandingkan tahun 2007 dengan ROA sebesar 1,78% (LPPS, 2008).
Demikian pula dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), meskipn memperlihatkan peningkatan kinerja sebagaimana bank umum dan unit usaha syariah namun share terhadap industri BPR nasional masih belum optimal. Sepanjang tahun 2008, volume usaha BPRS mengalami ekspansi 40,27% sehingga pangsa BPRS dalam industri BPR nasional menjadi 4,95%. Pertumbuhan tersebut antara lain ditunjang oleh peningkatan jumlah DPK yang dihimpun sebesar 35,93%. Sementara itu, ekspansi pembiayaan BPRS mampu bertumbuh sebesar 42,84% dari tahun sebelumnya. Hal ini memberikan indikasi bahwa seluruh dana yang dihimpun dapat disalurkan oleh BPRS atau dengan kata lain fungsi intermediasinya berjalan optimal. Hal ini tercermin dari rasio financing to deposit BPRS yang mencapai 128,78%. Kenaikan pembiayaan tersebut juga diikuti dengan sedikit kenaikan nilai NPF (gross) 8,3% lebih tinggi daripada tahun 2007 dengan NPF sebesar 8%. Akan tetapi kualitas pembiayaan BPRS pada akhir 2008 masih lebih baik dibandingkan dengan kualitas pembiayaan atau NPL BPR nasional sebesar 9,88% (LPPS, 2008).
(2) Pertumbuhan Bank Syariah
Secara teoritis, perbankan syariah seharusnya dapat memberikan andil besar dalam kancah perbankan nasional. Hal ini mengingat karakter bank syariah dianggap dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat pelaku ekonomi marjinal, terutama karena sistemnya yang meniadakan bunga pinjaman dan menihilkan syarat agunan (Dhumale dan Sapcanin, 2000 dalam Febrian, 2010). Selain itu, jumlah penduduk muslim yang seharusnya menjadi captive market di Indonesia adalah terbesar di dunia. Demikian pula, kapabilitas bank syariah dalam menopang perekonomian nasional saat krisis telah teruji, karena orientasinya yang lebih ke sektor riil. Kekuatan lainnya, industri ini by nature sangat relevan menjadi representasi pengelola dana sosial umat dari zakat, infak, dan sedekah, serta dana sosial yang berasal dari penerimaan operasi (qardh).
Namun, fakta memperlihatkan bahwa meskipun mengalami peningkatan, industri perbankan syariah dapat dikategorikan masih tumbuh sangat lambat. Sejak pendirian bank syariah pertama pada tahun 1992, penambahan satu bank syariah yang independen baru terjadi pada akhir tahun 1999. Kemudian, industri ini butuh 5 tahun untuk menambah satu bank syariah lagi menjadi tiga Bank Umum Syariah (BUS), yaitu pada tahun 2004. Pada akhir tahun 2008, jumlah BUS menjadi 5. Baru pada dua bulan terakhir jumlah BUS mendekati angka 9.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, telah membawa pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Perkembangan perbankan syariah menunjukkan peningkatan selama beberapa tahun terakhir. Selama periode tahun 2008 sampai tahun 2010, jumlah bank umum syariah telah mengalami peningkatan dari 9 unit pada tahun 2008 menjadi 11 unit pada tahun 2010. Sementara itu, unit usaha syariah mengalami penurunan dari 27 unit pada tahun 2008 menjadi 23 unit pada tahun 2010. Hal ini disebabkan adanya perubahan status beberapa institusi atau lembaga dari unit usaha syariah menjadi bank umum syariah. Bank pembiayaan syariah juga mengalami peningkatan dari 131 unit pada tahun 2008 menjadi 150 unit pada tahun 2010 (statistik perbankan syariah, 2010).
Dalam perkembangannya, keberhasilan usaha bankan syariah sangat dipengaruhi oleh kemampuan bank tersebut dalam mengelola asset yang dimilikinya. Dalam hal ini, bank syariah dapat menyalurkan dananya kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan, maupun dengan membeli surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam bentuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) atau Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Selain itu, bank syariah juga dapat menyimpan dananya pada bank lain dalam bentuk Investasi Mudharabah Antar-Bank (IMA).
Sebelum periode 2008, gerak pertumbuhan industri perbankan syariah yang lambat ini bermuara pada rendahnya pangsa aset, dana pihak ketiga, dan pembiayaan bank-bank syariah dibandingkan dengan pangsa bank-bank konvensional. Pada November 2008, nilai total aset, pangsa dana pihak ketiga dan pembiayaan bank-bank syariah berada di bawah level 3%. Angka ini menunjukkan bahwa industri ini relatif belum mampu menstimulasi dan mengakomodasi kebutuhan jasa perbankan captive market-nya, baik sebagai jasa komplementer maupun jasa alternatif. Meski berjaya menjaga sektor riil pada era krisis 1997-2000, bank-bank syariah masih kalah pamor dari bank-bank konvensional. Konsekuensi lanjutannya, tanpa economy of scale, industri ini belum mampu berkontribusi signifikan dalam meningkatkan kemakmuran rakyat, yang sebenarnya merupakan ultimate objective-nya. Dengan skala usaha (yang tercermin pada total aset dan pembiayaan) dan partisipasi masyarakat (yang tercermin pada rekrutmen dana pihak ketiga) yang masih kecil dibandingkan perbankan konvensional, bank-bank syariah belum dapat berbuat banyak dalam upaya mengangkat derajat ekonomi penduduk Indonesia, khususnya pelaku ekonomi marjinal. Padahal, jumlah penduduk miskin Indonesia masih cukup tinggi, yaitu sekitar 15,42% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2008.
Bila diasumsikan bahwa industri perbankan syariah nasional dapat melayani captive market-nya saja, yaitu 52,8 juta rumah tangga muslim, maka peluang pasar industri ini sebenarnya sangat besar. Lebih dari itu, seharusnya industri ini bisa mencapai prestasi komersial yang lebih baik dan memberi kontribusi yang lebih besar dalam upaya mengembankan perbankan nasional.
Sukarmadji (2009) menyebutkan bahwa beberapa aspek yang menjadi ruang kelemahan industri perbankan syariah nasional, yaitu permodalan, jaringan, sistem, produk dan jasa, tim kerja dan koordinasi, sosialisasi, dukungan pemerintah, kompetensi sumber daya insani, disamping regulasi Perbankan Syariah nasional.
Di antara sejumlah masalah yang disebutkan di atas, ada beberapa yang dapat dientaskan melalui peran dan kontribusi lembaga pendidikan tinggi, yaitu masalah aturan-aturan Perbankan Syariah nasional, produk dan layanan, sosialisasi, dan kompetensi sumber daya insani. Masalah-masalah tersebut akan dibahas secara seksama pada sesi berikut ini.
Fakta perkembangan perbankan syariah nasional di atas kurang lebih memperlihatkan karakter unik pembangunan Industri Perbankan Syariah di Indonesia, meski industri ini telah berjalan selama 18 tahun. Pada dasarnya, UU No. 10 Tahun 1998 telah berupaya mengakomodasi kepentingan pengembangan industri ini, namun celah-kelemahan perangkat hukum tersebut nampak efektif mereduksi kekuatan pengembangan industri ini ke level yang seharusnya.
Ketika UU Perbankan Syariah Nasional disetujui pada tanggal 17 Juni 2008, para pemangku kepentingan berharap banyak bahwa UU tersebut bisa efektif mengeliminasi ambivalensi yang membatasi gerak industri perbankan syariah nasional, agar minimal bisa mengejar target kuantitatif (yaitu, pencapaian pangsa 5% dari total asset perbankan nasional per Desember 2008), dan target kualitatif (inisiasi kemakmuran umat melalui kehidupan komersial yang syariah). Hal ini mengingat bahwa UU tersebut akan berperan dalam membuka akses aliran dana terutama dari Negara-negara muslim Timur Tengah melalui 2 pintu. Pertama, UU perbankan syariah dapat dianggap sebagai upaya penciptaan kepastian hukum yang mengatur segala aktivitas dalam industri tersebut. Dengan mempelajari UU ini, para investor tersebut dapat mengukur resultan-resultan dari kegiatan investasi mereka. Kedua, UU ini menjadi kerangka dasar bagi penetapan standar-standar perbankan syariah nasional dan kemungkinan teritegrasinya dengan standar perbankan syariah global. Bila standar nasional dapat terintegrasi dengan standar perbankan syariah global, maka akan lebih mudah bagi bank-bank syariah kita untuk berkompetisi dengan Singapura dan Malaysia, misalnya, dalam menarik investor-investor Timur Tengah, yang saat ini memiliki dana investasi sekitar USD 500 miliar (dari Total USD 600 miliar potensi dana syariah global) dengan pertumbuhan sekitar 23% per tahun.
Oleh karenanya, Bank Indonesia perlu segera menerjemahkan UU tersebut ke dalam peraturan-peraturan yang lebih teknis, termasuk bersama-sama para pemangku kepentingan lainnya menciptakan standar-standar perbankan syariah yang kompetitif. Selain itu, agar UU ini dapat efektif mempercepat laju pertumbuhan perbankan syariah nasional, para pemangku kepentingan dan otoritas terkait perlu melakukan relaksasi terhadap sejumlah peraturan investasi asing syariah, yang selama ini menjadi keunggulan Malaysia dan Singapura di mata investor Timur Tengah.
Dalam proses translasi dan derivasi hukum di atas, pihak bank sentral, bank-bank syariah, dan para pelaku dalam industri ini perlu berhati-hati. Ikhtiar untuk mengakselerasi pertumbuhan jangan sampai mengorbankan prinsip- prinsip dan filosofi muammalah dalam perbankan syariah. Kekhawatiran ini tidak berlebihan, mengingat sampai saat ini masih banyak praktik bank syariah yang lebih merupakan replikasi praktik bank konvensional yang dibungkus dalam terminologi-terminologi syariah (LMFE UNPAD, 2007), karena ruang-ruang regulasi yang ada masih ambivalen.
Dalam situasi ini, sebagai lembaga yang ilmiah dan independen, perguruan tinggi dapat berperan efektif untuk menjaga agar translasi dan derivasi hukum di atas dapat tetap berada dalam koridor syariah murni, namun tetap merespon dinamika perubahan yang dihadapi oleh perbankan syariah nasional. Melalui kegiatan penelitiannya, lembaga-lembaga pendidikan tinggi dapat menyumbangkan gagasan-gagasan mengenai derivasi dan penyesuaian peraturan-peraturan teknis yang dapat menstimulasi kualitas kompetitif pada bank-bank syariah nasional. Selain itu, kolaborasi penelitian antara lembaga pendidikan tinggi dan industri perbankan syariah dapat memberikan penjelasan tentang fleksibilitas regulasi yang diperlukan untuk membangun daya saing investasi syariah nasional. Dengan demikian, lembaga pendidikan tinggi akan berperan dalam mengakselerasi pertumbuhan industri perbankan syariah nasional melalui pengembangan regulasi.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, terutama selama tahun 2010, kinerja perbankan syariah relatif baik ditandai dengan pertumbuhan yang tinggi pada sejumlah indikator utama perbankan syariah. Total aset perbankan syariah (BUS dan UUS) tumbuh 47,56% menjadi Rp.97 triliun terutama bila dibandingkan dengan perbankan nasional yang asetnya hanya tumbuh 18,7% (yoy). Peningkatan tersebut antara lain didorong oleh berdirinya sejumlah Bank Umum Syariah (BUS) baru dan jaringan kantor perbankan syariah. Selain itu, DPK meningkat sebesar 45,46% menjadi Rp.76 triliun. Penyumbang kenaikan DPK terbesar masih berasal dari nasabah korporasi. Salah satu faktor utama yang mendorong kenaikan DPK adalah imbal hasil perbankan syariah yang relatif lebih menguntungkan dibandingkan imbal hasil perbankan konvensional. Selain itu, kegiatan edukasi masyarakat yang terus dilakukan dalam rangka memperkenalkan produk dan keunggulan sistem perbankan syariah semakin mampu menarik perhatian nasabah-nasabah baru.
Di sisi lain, pembiayaan yang diberikan tumbuh sebesar 45,24% menjadi Rp.68 triliun. Aktiva produktif perbankan syariah tumbuh secara positif selama tahun 2010. Sebagai lembaga penyedia pembiayaan bagi deficit spending, unit porsi utama dana bank-bank syariah disalurkan dalam bentuk pembiayaan dengan berbagai jenis akad. Kemudian diikuti dengan penempatan pada surat berharga dan penempatan dana antar bank. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi intermediasi perbankan syariah tetap berjalan dengan baik dan fokus kepada pembiayaan sektor riil. Penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah selama tahun 2010 meningkat cukup tinggi dibanding tahun 2009, yaitu mencapai 44,91%. Meskipun sempat mengalami sedikit perlambatan pada triwulan III, pembiayaan bank syariah tumbuh cukup signifikan pada triwulan IV.
Dilihat dari jenis akadnya, penyaluran pembiayaan perbankan syariah masih didominasi oleh piutang Murabahah yakni sebesar 55,01%, diikuti oleh penyaluran pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah masing-masing sebesar 21,45% dan 12,66%. Dalam jumlah yang kecil, penyaluran pembiayaan syariah dialokasikan pada pembiayaan berbasis akad qardh, ijarah dan istishna masing-masing sebesar 6,94%, 3,43%, dan 0,51%.
B. Inovasi Produk dan Layanan
Hal lain yang krusial untuk diperhatikan dalam upaya akselerasi pertumbuhan perbankan syariah pasca pengesahan UU Perbankan Syariah adalah mendorong agar pelayanan perbankan syariah berbasis teknologi maju tidak jauh tertinggal dari perbankan konvensional, sepanjang menjalankan usahanya melalui distribusi produk dan layanan yang sesuai dengan norma-norma syariah. Upaya ini dapat mengakselerasi rekrutmen pengguna jasa perbankan syariah, bukan hanya di tataran domestik namun juga mancanegara.
Meski demikian, inovasi produk dan layanan bank-bank syariah harus tetap memperhatikan definisi dan identitas ke-syariah-an hasil inovasinya. Schmiedel (2009) sebagaimana dikutif oleh Febrian (2010) menyebutkan beberapa masalah fundamental dalam praktik perbankan syariah di berbagai belahan dunia, dimana produk-produk keuangan bank syariah disinkronisasikan dengan hukum Islam secara formal bukan secara substansial, distrukturisasi berdasarkan model-model kapitalis, dan dioperasikan seperti halnya praktik di bank konvensional. Lebih lanjut, Schmiedel (2009) juga menyatakan bahwa situasi ini sulit dihindari oleh bank-bank syariah karena mereka terintegrasi ke dalam sistem keuangan kapitalis, dan cenderung berkompromi karena pertimbangan praktis ketimbang berdasarkan tujuan hukum Islam. Padahal, seperti yang terlihat pada Tabel 1, filosofi yang melatari kedua jenis perbankan sangat berbeda, sehingga pijakan untuk pengembangan produk dan layanannya juga berbeda.
Tabel 1
Perbedaan Antara Perbankan Syariah dan Konvensional
Elemen
|
Bank Syariah
|
Bank Konvensonal
|
Dasar
Operasi
|
- Berbasis hukum Islam
- Uang semata sebagai alat tukar
- Tidak menggunakan bunga
- Menggunakan sistem bagi-hasil
- Berbasis transaksi riil
- Bebas dari unsur-unsur haram (spekulasi, penipuan, suap dan riba)
|
- Berbasis materialisme
- Uang digunakan sebagai komoditas
- Berdasarkan bunga
- Berdasarkan hukum positif
- Tidak ada batasan haram
|
Peran
dan
Fungsi
|
- Intermediary
- Agen investasi
- Hubungan Kemitraan
|
- Intermediary
- Lending-borrowing dengan
- bunga
- Hubungan debitur – kreditur
|
Risiko
Bisnis
|
- Berbagi risiko antara bank dan mitra/nasabah berdasarkan keadilan, kejujuran, & keterbukaan
- Terhindar dari negative spread
|
- Risiko bank tidak berhubungan langsung dengan nasabah dan sebaliknya
- Dapat terjadi negative spread
|
Sumber: Sukarmadji, 2009
Jadi, inovasi produk dan layanan perbankan syariah harus dapat dilakukan secara dinamis namun tetap berada dalam koridor syariah sejati. Hal ini dapat dilakukan secara konsisten, bila dalam proses inovasi, riset-riset yang dilakukan melibatkan lembaga-lembaga yang relatif steril dari kepentingan industri.
Independensi dari pengaruh industri dengan segala dinamikanya mutlak diperlukan untuk menghindarkan rekomendasi inovasi produk dan layanan (berbasis hasil riset) yang memasuki wilayah yang meragukan (grey area). Independensi semacam ini dapat ditemukan pada lembaga pendidikan tinggi yang memang bercirikan ilmiah-objektif. Dengan demikian, pelibatan lembaga perguruan tinggi dalam riset-riset pengembangan produk perbankan syariah niscaya dapat membantu dewan-dewan pengawas syariah dan manajemen di bank-bank syariah nasional dalam mempertajam daya saing bank yang bersangkutan melalui inovasi produk dan layanan tanpa melanggar ketentuan syariah.
C. Sosialisasi
Sebagian besar karakter produk dan layanan bank syariah mengandalkan interaksi dengan sektor riil, yang merupakan lahan kehidupan yang didominasi masyarakat ekonomi bawah Indonesia yang awam tentang definisi dan praktik ekonomi dan keuangan syariah (Nasution, 2009). Sementara itu, sulit dipungkiri bahwa informasi tentang produk dan layanan lembaga keuangan syariah masih terbatas dan hanya diakses oleh kelompok-kelompok masyarakat menengah ke atas yang memiliki kemampuan rekrutmen informasi yang di atas rata-rata penduduk Indonesia secara umum. Kelompok-kelompok semacam ini umumnya memiliki tingkat pendidikan yang memungkinkannya menggunakan metode akses informasi yang umumnya hanya tersedia di wilayah urban.
Dengan demikian, meskipun secara ideal praktik keuangan syariah sangat cocok bagi pelaku ekonomi marjinal, upaya bank-bank syariah nasional dalam membidik segmen pasar ini tidak terlihat ”serius”, setidaknya bila pemilihan materi, dan media promosi dijadikan indikator. Padahal, meskipun sebenarnya rincian sistem yang melekat pada produk-produk perbankan syariah tidak terlalu rumit, sistem tersebut merupakan ”gagasan baru” bagi pasar pengguna produk dan layanan perbankan, sehingga publik atau pasar potensial membutuhkan kesempatan untuk mengenal dan informasi yang memadai tentang produk dan layanan bank-bank syariah.
Selain mempertajam pemilihan materi dan media promosi dan sosialisasi, usaha yang harus diinisiasi untuk mengakselerasi akses informasi bagi pasar adalah bahwa pelaku industri perbankan syariah dan Bank Indonesia juga perlu mengimplementasikan strategi yang mengedepankan kaum intelektual dan kelompok-kelompok profesional untuk mengkatalisasi proses sosialisasi ini, khususnya kepada para pelaku ekonomi marjinal.
Pada tataran ini, peran kampus dan civitas akademika-nya dapat dipandang sebagai katalisator yang paling penting. Sejak dulu, kampus telah memainkan peran sebagai translator konsep-konsep yang kompleks (seperti kebijakan pemerintah, fenomena ekonomi yang rumit, fenomena politik, dan sebagainya) kepada publik, khususnya masyarakat bawah. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat kampus, baik secara individu maupun institusi, memiliki akses yang memadai kepada kelompok ”atas” dan ”bawah” pada masyarakat. Karakter keilmuan dan objektivitas yang melekat pada kampus adalah fondasi tempat kepercayaan masyarakat berpijak.
Dalam proses sosialisasi yang digagas ini, lembaga pendidikan tinggi bukan hanya dapat membantu kegiatan diseminasi informasi melalui kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggai (pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat), namun juga melalui distribusi lulusan-lulusannya, yang telah dibekali kompetensi yang mumpuni untuk menularkan pengetahuan sistem dan produk/layanan syariah ke tengah-tengah masyarakat.
D. Pemenuhan Sumber Daya Insani Perbankan Syariah Yang Kompeten
Sumber daya insani (SDI) dan kultur merupakan elemen fundamental yang menjadi pilar eksistensi industri perbankan syariah, serta membedakannya dari perbankan konvensional. Selama ini, performansi SDI dan kultur bank-bank syariah dalam menjalankan aktivitas komersial belum menunjukkan terintegrasinya nilai-nilai syariah yang diamanatkan kepada bank-bank tersebut, sehingga differensiasi citranya tidak menonjol. Akibatnya, dapat dimengerti jika mayoritas captive market relatif belum melihat jasa-jasa bank-bank syariah sebagai jasa perbankan alternatif untuk memenuhi kebutuhan ideologisnya, melainkan hanya sebatas jasa komplementer. Indikasinya, para pengguna dan calon pengguna jasa perbankan syariah cenderung membandingkan bank syariah dan bank konvensional semata berdasarkan angka imbal hasil dan/atau angka biaya, padahal banyak komponen filosofis yang lebih penting pada perbankan syariah yang jika diimplementasikan akan membawa perbankan syariah ke level economy of scale yang bermuara pada penciptaan kemakmuran masyarakat.
Penelitian yang dilakukan Lab. Manajemen FE (LMFE) UNPAD dan Direktorat Perbankan Syariah BI (2007) serta program magang di bank-bank syariah yang diorganisir oleh LMFE UNPAD dan ADB, misalnya, mengungkap betapa praktik perbankan syariah belum memberikan perbedaan kualitatif yang diharapkan oleh captive market-nya dibandingkan dengan perbankan konvensional.
Tabel 2
Kondisi Sumber Daya Insani Perbankan Syariah Indonesia
Sumber Daya
|
Kondisi
|
Keterangan
|
Latar Belakang Pendidikan Staf
|
18% SMU
21% D 3
59% S 1
2% S 2
|
Dominasi lulusan sarjana
pada bank-bank syariah di
Indonesia
|
Kelompok Keilmuan Staf
|
10% Ilmu Syariah
90% Ilmu Konvensional
|
Belum ada lulusan lembaga
pendidikan ekonomi Islam
|
Asal Karyawan
|
20% fresh graduate PT
70% Bank Konvensional
5% Bank Syariah lain
5% sumber lain
|
Kecenderungan pengaruh
framework konvensional
dalam perkembangan bank-
bank syariah
|
Sumber: Hasil Riset FE UI, 2003 (dalam Febrian, 2010)
Selanjutnya, menurut Febrian (2010), dicatat pula bahwa unit-unit pelayanan syariah terdepan miskin penguasaan filosofi produk dan kering akan kultur syariah, sehingga memberi kesan seakan SDI bank syariah hanyalah SDM bank konvensional yang berganti asesori. Nilai-nilai SDI yang amanah, fathonah, shiddiq, tabligh, istiqomah yang terintegrasi dalam konsep Good Corporate Governance belum dapat diklaim sebagai identitas utama mayoritas bank syariah nasional. Bila informasi pada Tabel 2 diamati secara seksama, situasi yang digambarkan tentang SDI bank syariah di atas dapat dipahami, meski tidak dapat diterima. Dari sisi keilmuan, latar belakang pendidikan para karyawan bank-bank syariah lebih didominasi oleh pemilik ilmu konvensional (90%), dan sebagian direkrut dengan latar belakang pengalaman bekerja di bank-bank konvensional (70%).
Berkenaan dengan hal ini, peran perguruan tinggi dalam mensuplai SDI dan masukan berbasis keilmuan untuk pengembangan perbankan syariah adalah keniscayaan. Dengan bertambahnya jumlah Bank Umum Syariah pada tahun 2009 menjadi 9 bank maka kebutuhan akan SDI yang kompeten pun meningkat. Fadjrijah (2009) sebagaimana dikutif oleh Febrian (2010) memperkirakan kebutuhan SDI terkait dengan pertumbuhan perbankan syariah ini mencapai 25.000 orang. Zadjuli (2009) bahkan memprediksi bahwa kebutuhan SDI berkualifikasi D3 hingga S3 dalam kurun waktu 5 tahun ke depan mencapai 38.940 orang. Hanya saja, saat ini jumlah perguruan tinggi yang secara spesifik berintegrasi dengan industri perbankan syariah masih sangat minim, sehingga hubungan mutual benefit antara sektor pendidikan tinggi dan perbankan syariah belum signifikan. Dari 2.472 Perguruan Tinggi (81 PTN dan 2.391 PTS), kurang dari 1% yang telah membangun komitmen untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang akan mengisi industri perbankan syariah (Zadjuli, 2009). Sementara itu, beberapa universitas di luar negeri, khususnya di Inggris, Malaysia, dan Pakistan telah secara khusus dan sistematis menciptakan lulusan-lulusan yang kompeten dalam membangun industri keuangan syariah nasional meski dalam jumlah yang sangat terbatas. Untuk itu, para pemangku kepentingan harus menginisiasi program yang memungkinkan perguruan tinggi di Indonesia secara konsisten membantu peningkatan jumlah dan kualitas SDI yang sesuai amanah serta pengembangan kultur perbankan syariah nasional yang kondusif. Berkaitan dengan upaya pengembangan SDI perbankan syariah ini, Bank Indonesia telah menyusun Human Capital Strategic Plan (HCSP) Perbankan Syariah Indonesia dengan kerangka waktu 2011 – 2015. Secara khusus HCPS Perbankan Syariah Nasional diharapkan dapat diposisikan sebagai (Outlook Perbankan Syariah Indonesia, 2011):
1) Masukan dan acuan dalam perencanaan kebijakan dan strategis dibidang human capital bagi pelaku industri perbankan syariah, lembaga pendidikan dan pelatihan terkait perbankan syariah serta stakeholders lainnya agar dapat secara bersama-sama mendorong terwujudnya tujuan pengembangan human capital perbankan syariah Indonesia.
2) Pedoman bagi Bank Indonesia melaksanakan fungsinya dalam menetapkan peraturan bagi industri perbankan syariah khususnya yang terkait dengan pengaturan dan pengembangan human capital industri perbankan syariah, melaksanakan fungsi koordinasi dengan pihak terkait, melakukan fungsi fasilitasi dalam pengembangan institusi terkait (institutional building, dan pengembangan kapasitas human capital (capacity building) terkait dengan perbankan syariah, maupun lembaga yang memiliki peran penting dalam pengembangan perbankan syariah nasional.
3) Masukan dan acuan bagi para pihak terkait dan stakeholders perbankan syariah secara umum agar secara bersama-sama dapat melakukan sinergi dan upaya pengembangan human capital secara terencana dan berkesinambungan guna mencapai sasaran dan tujuan pengembangan perbankan syariah khususnya dari aspek human capital.
Penyusunan Human Capital Strategic Plan Perbankan Syariah Nasional 2011 – 2015, diawali dengan penggalian informasi terhadap isu-isu strategis pada industri perbankan syariah, yang meliputi perkembangan bisnis, yaitu gambaran tentang perkembangan industri perbankan syariah nasional. Perkembangan bisnis merupakan isu yang harus diperhatikan karena diperlukan human capital yang mampu meningkatkan daya saing nasional maupun internasional.
Selanjutnya adalah melakukan pendalaman aspek-aspek Human Capital Management yang meliputi (i) Model Kompetensi, (ii) Human Capital Acquisition, (iii) Human Capital Development, (iv) Human Capital Retention, dan (v) Human Capital Engagement. Dengan metode SWOT analysis, isu-isu strategis yang terkait dengan human capital, kemudian dikaji kekuatan, kelemahan, peluang, dan hambatannya. Langkah berikutnya adalah mengembangkan inti Human Capital Strategic Plan Perbankan Syariah Nasional 2011 – 2015, yang meliputi penjabaran tentang (i) visi, misi, dan sasaran Human Capital Management (HCM) perbankan syariah, (ii) menyusun inisiatif strategi Human Capital Management dan Program Human Capital Management Strategy.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebijakan akselerasi pengembangan perbankan syariah yang telah digalakkan oleh Bank Indonesia tahun 2007 – 2008 nampaknya masih belum optimal. Hal ini tercermin dari tidak terpenuhinya target share perbankan syariah yang belum mencapai 5% pada akhir 2008. Selain itu, dalam perkembangan selanjutnya sampai dengan periode 2010, pertumbuhan perbankan syariah meskipun rata-rata mengalami peningkatan setiap periode, namun dalam rentang waktu yang sudah relatif lama (18 tahun) masih tergolong tumbuh dengan sangat lambat.
B. Rekomendasi
Mengingat kebijakan akselerasi pengembangan perbankan syariah 2007 – 2008 tidak berjalan optimal, maka diperlukan kebijakan akselerasi lanjutan untuk meningkatkan eksistensi perbankan syariah dalam kancah perbankan nasional. Inovasi produk perbankan syariah harus lebih ditingkatkan agar mampu bersaing dengan produk-produk perbankan konvensional. Sosialisasi harus terus dilakukan secara aktif terhadap berbagai elemen masyarakat terutama melalui media pendidikan. Selain itu, pemenuhan sumber daya insani perbankan syariah yang kompeten harus segera dipenuhi. Kerja sama dengan perguruan tinggi menjadi salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2002. Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta.
Anonimous, 2007. Kebijakan Akselerasi Pengembangan Perbankan Syariah 2007-2008. Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia, Jakarta.
Anonimous, 2007. Laporan Riset Laboratorium Manajemen FE (LMFE) UNPAD yang bekerja sama dengan Direktorat Perbankan Syariah BI, UNPAD, Bandung.
Anonimous, 2008. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah 2008. Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia, Jakarta.
Anonimous, 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta.
Febrian, Erie, 2010. Akselerasi Pertumbuhan Perbankan Nasional: Tantangan dan Kontribusi Lembaga Pendidikan Tinggi, UNPAD, Bandung.
Nasution, 2009. Ekonomi Syariah: Dari Pemikiran ke Implementasi (Strategi Pembangunan Sektor Riil), Seminar Nasional Ekonomi Syariah UNPAD, Bandung.
Sukarmadji, 2009. Beberapa Konsep Pemikiran Pengembangan Peran Perbankan Syariah, Seminar Nasional Ekonomi Syariah UNPAD, Bandung.
Tim Penyusun, 2010. Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2011. Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia, Jakarta.
Zadjuli, 2009. Sistem Pendidikan dan Ekonomi Islam Sebagai Solusi Meniadakan Kemiskinan dan Ketidakadilan dalam rangka Membangun Masyarakat Madani secara Kaffah, Seminar Nasional Ekonomi Syariah UNPAD, Bandung.
Zubair, 2008. Akselerasi Pertumbuhan Bank Syariah Di Indonesia. Millah Vol. VIII, No. 1, Agustus 2008.