Selasa, 20 Maret 2012

INTEGRASI EKONOMI DAN MONETER KAWASAN ASIA TIMUR

INTEGRASI EKONOMI DAN MONETER KAWASAN ASIA TIMUR
by
SUPRIANTO



PENDAHULUAN

Integrasi ekonomi dan keuangan regional dalam beberapa dekade terakhir telah menjadi kecenderungan di berbagai belahan dunia. Kedekatan geografis dan historis serta hubungan ekonomi antar negara di suatu kawasan seringkali menjadi pendorong utama pembentukan integrasi ekonomi dan keuangan regional, dengan tujuan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan kawasan dimaksud.
Kecenderungan peningkatan proses integrasi ekonomi dan keuangan regional di berbagai belahan dunia pada dasarnya dilandasi oleh konsep dasar (premise) bahwa manfaat yang akan diperoleh dari integrasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan risiko yang mungkin dihadapi oleh masing-masing negara anggota dalam kawasan. Dalam perkembangannya, berbagai konsep terkait dengan integrasi ekonomi dan moneter ini pun terus berevolusi seiring dengan perkembangan ekonomi dan keuangan internasional. Salah satu teori yang mendasari integrasi ekonomi dan moneter regional adalah teori teori Optimum currency area (OCA) yang digagas oleh Mundell pada tahun 1961 (Mundel I) dan didukung oleh Bela Balassa (1961), Krugman dan Obstfeld (2000), serta Forbes dan Chinn (2003). Menurut teori ini, ada beberapa tahapan yang dilalui oleh negara-negara yang ingin melakukan suatu integrasi ekonomi dan moneter regional, yaitu sebagai berikut:
a)      Tahapan Free Trade Area (FTA), yaitu suatu kawasan di mana tarif dan kuota antara negara anggota dihapuskan, namun masing-masing negara tetap menerapkan tarif mereka masing-masing terhadap negara bukan anggota.
b)      Customs Union, yaitu merupakan FTA yang meniadakan hambatan pergerakan komoditi antar negara anggota tetapi menerapkan tarif yang sama terhadap negara bukan anggota.
c)      Common Market, yaitu merupakan Customs Union yang juga meniadakan hambatan-hambatan pada pergerakan faktor-faktor produksi (barang, jasa, aliran modal). Kesamaan harga dari faktor-faktor produktif diharapkan dapat menghasilkan alokasi sumber yang efisien.
d)     Economic Union Integration, yaitu merupakan suatu Common Market dengan tingkat harmonisasi kebijakan ekonomi nasional yang signifikan (termasuk kebijakan struktural)
e)      Total Economic, yaitu penyatuan moneter, fiskal, dan kebijakan sosial yang diikuti dengan pembentukan lembaga supranasional dengan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh negara anggota.
Pada intinya, pendekatan OCA sesuai dengan teori Coronation Theory menyatakan bahwa integrasi ekonomi dan moneter regional didahului dengan adanya suatu integrasi sektor riil yang dilakukan melalui liberalisasi perdagangan dan mobilitas faktor produksi. Hal ini berbeda dengan teori lainnya yaitu teori Vehicle Theory yang menyatakan bahwa kerja sama moneter atau integrasi moneter dapat dilakukan tanpa didahului oleh  integrasi sektor riil. Penggagas utama teori ini adalah Dieter (2000) yang didukung antara lain oleh Mundel II (1973), Frankel dan Rose (1998), serta Alesina dan Barro (2002). Teori yang diajukan oleh Dieter ini dapat dikatakan merupakan kelompok teori integrasi keuangan moneter yang lebih modern karena telah memasukkan unsur liberalisasi sektor keuangan dalam analisisnya. Pendekatan yang diajukan oleh Dieter, pada dasarnya bertujuan untuk melindungi suatu kawasan dari volatilitas nilai tukar dan krisis keuangan tanpa didahului dengan hubungan pandangan yang formal.
Menurut Dieter, ada 4 langkah struktural dalam proses menuju monetary union yaitu:
a)      Pembentukan Regional Liquidity Fund, sebagai sarana jaring pengaman kawasan apabila terjadi krisis.
b)      Pembentukan Regional Monetary System, melalui penggunaan pita nilai tukar (exchange rate bands) untuk memastikan stabilitas makroekonomi kawasan.
c)      Pembentukan Economi and Monetary union, di mana terdapat tingkat harmonisasi kebijakan ekonomi nasional yang signifikan (termasuk kebijakan struktural.
d)     Pembentukan Political Union, berupa penyatuan moneter, fiskal dan kebijakan sosial yang diikuti oleh pembentukan lembaga supranasional dengan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluru anggota. Dua tahap terakhir ini sangat mirip dengan teori Ballasa. Hanya pada dua tahap akhir inilah Dieter menyarankan adanya implementasi persetujuan integrasi perdagangan.
Uni Eropa sebagai salah satu kawasan yang berhasil membentuk suatu integrasi ekonomi dan moneter, melalui Maastricht Treaty sebagai traktat yang melandasi monetary union di kawasan Eropa, pada awalnya sangat dipengaruhi oleh pemikiran dalam teori OCA sehingga gelombang pesimisme terhadap adanya monetary union begitu kuat di Eropa mengingat beberapa kondisi perekonomian kawasan yang tidak memenuhi apa yang disyaratkan oleh OCA sebagaimana digagas oleh Mundel I. Namun demikian, pada akhirnya pemikiran Mundel II yang justru membawa pengaruh yang besar bagi kawasan tersebut. Faktor utama penyebab penguatan pengaruh Mundel II ini adalah peristiwa jatuhnya Europan Monetry System (EMS) pada tahun 1992-1993.
Dalam Maastricht Treaty, dibuat suatu kesepakan tentang beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh negara-negara yang ingin tergabung dalam integrasi ekonomi dan moneter Eropa yaitu:
a)      Tingkat inflasi tidak melebihi 1,5% di atas rata- rata inflasi tiga negara anggota dengan inflasi terendah.
b)      Tingkat suku bunga tidak melebihi 2% di atas rata-rata suku bunga tiga negara anggota dengan inflasi terendah.
c)      Defisit fiskal terhadap GDP maksimum3 %
d)     Utang Pemerintah terhadap GDP maksimum 60%.
Keinginan untuk membentuk suatu integrasi ekonomi dan moneter juga terjadi di kawasan Asia Timur yang meliputi negara-negara yang tergabung dalam kerja sama ASEAN+3 yang terdiri dari 10 negara ASEAN yaitu Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filiphina, Singapura, Thailand, dan Vietnam serta plus 3 negara Asia lainnya yaitu China, Jepang, dan Korea Selatan. Ada beberapa hal yang mendorong keinginan negara-negara tersebut di atas untuk melakukan suatu integrasi ekonomi dan moneter di Asia Timur, yaitu:
a)      Krisis ekonomi dan moneter di Asia Timur tahun 1997/1998. Krisis tersebut telah menyadarkan negara-negara di kawasan Asia Timur mengenai kerentanan kawasan tersebut terhadap efek tular (contagion effect) dari krisis ekonomi yang terjadi pada suatu kawasan.
b)      Kelemahan Arsitektur Keuangan Internasional (International Financial Architecture/IFA) dalam menghadapi perkembangan integrasi ekonomi global. IFA dianggap kurang memadai dalam mengakomodasi negara sedang berkembang. Beberapa peran IFA yang tidak berjalan sebagaimana mestinya antara lain tercermin dari kegagalan dalam mencegah dan menanggulangi krisis Asia.
c)      Semakin menguatnya interdependensi ekonomi regional di Asia Timur, sebagaimana tercermin dari  peningkatan intensitas proses integrasi regional melalui jalur perdagangan dalam beberapa tahun terakhir. Keberhasilan penyatuan ekonomi dan peluncuran mata uang tunggal di Eropa (Euro) juga menjadi pendorong atau memotivasi kerjasama ekonomi dan moneter di Asia Timur.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah:
a)      Bagaimanakah perkembangan indikator integrasi ekonomi di kawasan Asia Timur dengan pendekatan Optimum Currency Area (OCA) dan Maastricht Treaty?
b)      Kebijakan apakah yang diambil oleh masing-masing pemerintah maupun kebijakan regional dalam rangka mewujudkan integrasi tersebut?
c)      Bagaimanakah peluang dan tantangan integrasi ekonomi kawasan Asia Timur bagi Indonesia?



PEMBAHASAN

A.    Perkembangan Indikator Integrasi Ekonomi Dan Keuangan Asia Timur Dengan Pendekatan Optimum Currency Area (OCA) Dan Maastricht Treaty
Ditengah perkembangan kerja sama ekonomi dan keuangan yang semakin meningkat dan mengarah pada integrasi ekonomi di kawasan Asia Timur, perdebatan mengenai kelayakan kawasan ini dalam mencapai integrasi ekonomi semakin intensif. Pada satu sisi, beberapa berpendapat bahwa inisiatif integrasi ekonomi merupakan salah satu pilihan yang layak dilakukan oleh negara-negara di kawasan ini. Kerja sama dan integrasi ekonomi merupakan keniscayaan untuk menciptakan stabilitas ekonomi kawasan. Integrasi juga diyakini akan mengubah potensi ekonomi Asia Timur menjadi kekuatan riil untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di Kawasan ini. Namun, pada sisi lain tidak sedikit yang bersikap skeptis bahwa kondisi negara-negara di kawasan ini belum layak dalam mewujudkan ambisi mereka menuju integrasi ekonomi secara penuh. Kondisi dan perkembangan kerja sama ekonomi dan keuangan di kawasan saat ini dinilai belum mencapai tahapan yang diperlukan untuk mencapai ambisi tersebut.
Tingkatan atau tahapan integrasi ekonomi yang dicapai suatu kawasan adalah bervariasi, baik dalam bentuk dan intensitasnya, terentang dari bentu integrasi yang paling lemah/sederhana sampai dengan bentuk integrasi ekonomi secara penuh. Kerja sama kawasan yang paling lemah dilakukan dalam bentuk koordinasi atau pertukaran informasi di antara negara dalam kawasan tersebut. Sementara integrasi ekonomi secara penuh ditandai oleh adanya penyatuan ekonomi dan moneter (Economic and Monetary union) di kawasan, yang disertai dengan aliran barang, jasa, dan faktor produksi secara bebas dalam kawasan. Bela Balassa (1961), mendefinisikan integrasi ekonomi secara penuh sebagai bentuk integrasi yang ditandai adanya penyatuan moneter, fiskal, dan kebijakan sosial lainnya, serta adanya otoritas supranasional yang mempunyai kekuatan mengikat bagi anggotanya.
Analisis empiris untuk melihat sejauh mana tahapan integrasi ekonomi dan keuangan yang telah dicapai sekelompok negara dalam suatu kawasan dan sekaligus untuk melihat kelayakan kawasan tersebut dalam mencapai integrasi ekonomi secara penuh adalah dengan melihat sejauh mana negara-negara di dalam kawasan memenuhi kriteria dalam Optimum Currency Areas (OCA). Pemenuhan atas kriteria OCA ini diperlukan untuk menjamin bahwa integrasi ekonomi yang ditandai oleh pembentukan mata uang tunggal, akan memberikan manfaat ekonomi bagi kawasan maupun individual negara yang tergabung dalam integrasi, serta menghindarkan negara-negara tersebut dari berbagai dampak ekonomi yang tidak diinginkan paska penyatuan mata uang mereka.
Analisis yang dilakukan dalam tulisan ini mengadopsi pemenuhan empat kriteria utama OCA. Keempat kriteria tersebut adalah (i) interdependensi perdagangan, di mana dalam uji empiris ini dianalisis melalui tingkat intensitas perdagangan intra-kawasan; (ii) shock yang simetris, di mana dalam uji empiris ini dianalisis melalui tiga komponen, yaitu perbedaan tingkat pendapatan antar negara, perbedaan struktur dan karakteristik ekonomi, dan komposisi perdagangan dan mitra dagang (iii) mobilitas faktor dan tenaga kerja; dimana dalam uji empiris ini analisis diperluas meliputi tiga sarana mekanisme penyesuaian, yaitu fleksibilitas harga dan tingkat upah, mobilitas faktor, dan transfer fiskal; dan (iv) konvergensi kebijakan makrokonomi, dimana dalam uji empiris ini dianalisis melalui kemampuan kawasan Asia Timur dalam memenuhi kriteria konvergensi nominal Maastricht.
(1)   Intensitas Perdagangan Intra-Kawasan
Mengacu pada teori OCA, tingkat intensitas perdagangan intra-kawasan akan menentukan sejauh mana manfaat ekonomi yang akan diperoleh dalam penyatuan mata uang suatu kawasan. Makin tinggi intensitas pedagangan intra kawasan, makin tinggi manfaat ekonomi yang di proleh dari penyaturan mata uang dikawasan tersebut. Terbentuknya mata uang tunggal dikawasan akan meningkatkan episiensi perdaganga melalui berkurangnya biaya lindung nilai (hedging) dan sepread transksi nilai tukar yang timbul apabila suatu kawasan tidak menyatukan mata uang mereka. Terkait dengan kriteria pertama OCA ini, isu yang mengemuka adalah sejauh mana perkembangan intensitas perdagangan intra kawasan Asia Timur saat ini. Hal mendasar yang menjadi pertanyaan adalah apakah perdagangan intra kawasan di Asia Timur saat ini cukup tinggi untuk menjustripikasi kawasan ini layak menuju integrasi ekonomi. Mengingat tidak adanya kriteria empiris yang difinitif dalam menentukan suatu kawasan memenuhi keriteria pertama OCA ini, analisis empiris mengenai  hal ini dilakukan dengan membandingkan kriteria tersebut dengan kawasan lain yang telah melakukan atau dalam proses integrasi ekonomi.
Data statistik ekspor dan impor negara-negara dikawasan menunjukan bahwa perdagangan intra-kawasan di Asia Timur meningkat secara signifikan dalam dekade terakhir. Konstribusi kawasan terhadap total perdagangan masing-masing negara dalam kawasan ini menunjukan peningkatan. Pada tahun 2004, sumbangan ekspor dan total impor masing-masing negara di kawasan rata-rata mencapai lebih dari 45 persen dan 65 persen dan pada tahun 2008 sampai dengan  2009 mencapai lebih dari 52 persen dan 47 persen (tabel 1).



Tabel 1.
Pola Perdagangan Intra-Kawasan Negara Asia Timur
 (Persen Terhadap Total Perdagangan)
Tahun/
Negara
1995
2000
2004
2008
2009
Ekspor
Impor
Ekspor
Impor
Ekspor
Impor
Ekspor
Impor
Ekspor
Impor
Brunei
93.4
63.5
78.6
64.7
73.9
72.6
80,57
19,62
74,92
25,08
Kamboja
65.6
80.6
9.9
56.3
12.3
69.2
49,78
50,45
56,10
43,90
Indonesia
51.8
47.3
52.1
47.7
54.7
177.3
51,47
48,53
54,61
45,39
Laos
59.5
68.6
n.a
n.a
45.7
54.7
31,46
68,54
41,77
58,24
Malaysia
45.2
50.9
45.9
52.7
73.9
134.9
57,41
42,59
55,99
44,01
Myanmar
49.9
83.4
40.3
80.8
45.9
48.3
63,57
36,43
62,23
37,77
Philipina
18.0
40.2
33.7
41.6
46.4
52.6
41,66
53,61
45,71
51,91
Singapura
41.3
51.0
42.4
51.3
44.8
52.6
51,40
48,60
52,33
47,67
Thailand
42.6
50.1
39.9
50.3
38.3
64.6
49,63
50,37
53,27
46,73
Vietnam
56.4
58.4
49.0
28.2
24.3
39.2
43,70
56,30
45,02
54,98
Cina
30.7
38.1
28.2
37.4
24.3
39.2
n.a
n.a
45,79
54,21
Korea
28.0
31.3
34.2
39.1
37.6
43.7
n.a
n.a
45,88
54,12
Jepang
29.6
30.3
27.0
35.6
41.6
45.3
n.a
n.a
48,53
51,47
Rata-rata
47.0
53.3
40.1
51.7
45.6
65.0
52,065
47,504
52,47
47,34
  


Sumber: diolah dari ASEAN Statistical Year Book 2003, 2004, Statistical Year Book for Asia and the Pacific 2007, dan ASEAN Community In Figures 2009.
Dilihat dari perspektif kawasan, sumbangan perdagangan intra kawasan terhadap total perdagangan kawasan juga terus menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2003, perdagangan Intra-ASEAN menyumbang sekitar 25,1 persen terhadap total perdagangan kawasan, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2008 hingga mencapai 26,8 persen. Sementara itu, sumbangan perdagangan antara ASEAN dengan Jepang 13,8 persen pada tahun 2003, mengalami sedikit penurunan pada tahun 2008 menjadi 12,4 persen. Sedangkan sumbangan perdagangan antara ASEAN dengan Korea Selatan meningkat dari 4,1 persen pada tahun 2003 menjadi 4,4 persen pada tahun 2008. Sementara itu, intensitas perdagangan antara ASEAN terhadap China memberikan sumbangan 7,2 persen pada tahun 2003 dan mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2008 menjadi 11,3 persen (Grafik 1).
Melihat intensitas perdagangan intra-kawasan di Asia Timur ini, di mana itensitas perdagangan intra-ASEAN relatif rendah (26,8 persen pada tahun 2008) sementara intensitas perdagangan intra-ASEAN+3 cukup tinggi (28,1 persen pada tahun 2008), tampak bahwa Jepang, Korea dan China (Plus-3 Countris) telah berperan penting dalam meningkatkan perdagangan intra-kawasan selama ini. Perkembangan ini tidak terlepas dari peranan negara plus-3 tersebut terutama China dan Jepang sebagai mitra dagang utama negara-negara anggota ASEAN. Seiring dengan pesatnya perkembangan ekonomi China, China bersama-sama dengan Hongkong telah tumbuh menjadi pasar ekspor terbesar kedua bagi ASEAN setelah USA. Berdasarkan data statistik ASEAN (www.asean.org) Ekspor ASEAN ke China pada tahun 2009 mencapai 10,1 persen meningkat dari periode sebelumnya yang mencapai 10 persen dengan impor mecapai 13,3 persen (meningkat dari periode 2008 sebesar 13 persen) dari total perdagangan ASEAN. Sedangkan ekspor terhadap Hongkong mencapai 7,0 persen. Sementara itu, intensitas perdagangan ASEAN terhadap Jepang tercermin dari besarnya nilai ekport dan impor ASEAN terhadap Jepang di mana pada tahun 2009 ekspor mencapai 9,6 persen atau mengalami penurunan dari periode 2008 yang mencapai 12 persen dengan impor mencapai 11,4 persen (meningkat dari periode sebelumnya yang hanya sebesar 11 persen). Demikian halnya dengan intensitas perdagangan antara ASEAN dengan Korea, di mana pada tahun 2009 tercatat ekspor ASEAN mencapai 4,2 persen atau meningkat dari tahun 2008 yang mencapai 4 persen sedangkan impor mencapai 5,6 persen (meningkat dari tahun 2008 yang mencapai 5 persen) dari total perdagangan.
Grafik 1.
Sumbangan Perdagangan Intra-Kawasan
Sumber: ASEAN Economic Community Chartbook 2009
(2)   Shock yang Simetris
Kriteria kedua dalam pembentukan OCA melihat bagaimana pola shock ekonorni yang terjadi di dalam kawasan, apakah bersifat simetris atau asimetris. Kriteria ini akan menentukan sejauh mana kemudahan dan kecepatan suatu kawasan menuju konvergensi ekonomi. Mengacu pada teori OCA, perilaku economic shocks yang ada dan fleksibilitas faktor produksi akan menentukan biaya ekonomi yang timbul dalam rangka penyesuaian ekonomi sehubungan dengan tidak adanya independensi dalam kebijakan moneter seiring dengan terbentuknya mata uang tunggal di suatu kawasan. Mundell (1961) berargumen bahwa apabila negara-negara dalam kawasan mengalarni shock yang berkorelasi secara positif, kawasan tersebut layak untuk melakukan penyatuan mata uang mereka. Hal ini berarti bahwa jika shock berkorelasi positif di antara, negara-negara kawasan yang tergabung dalam mata uang tunggal, respons kebijakan yang berlaku umum dalam kawasan tersebut dapat dilakukan dalam rangka penyesuaian ekonomi terhadap shock.
Analisis atas kriteria ini ditujukan untuk mengetahui apakah negara-negara dalam suatu kawasan mempunyai reaksi yang simetris atau asimetris terhadap shock. Pola shock dan pengaruhnya terhadap perekonomian, apakah bersifat simetris atau asimetris, dapat dilihat dari berbagai sudut pandang antara lain adalah tingkat pendapatan struktut ekonomi, komposisi perdagangan dan mitra dagang, korelasinya dengan siklus bisnis, tingkat kesamaan di antara ekonomi atau negara serta permintaan dan penawaran agregat.
a)      Tingkat Pendapatan
Perbedaan tahapan perkembangan ekonomi di antara negara dalam suatu kawasan akan menyebabkan shock yang terjadi berpengaruh secara berbeda terhadap negara-negara tersebut. Kondisi demikian akan terjadi pula pada situasi dimana negara-negara di kawasan dihadapkan pada perbedaan tingkat pendapatan yang tajam di antara mereka. Perbedaan pengaruh akibat shock ini akan menyebabkan respons kebijakan yang berlaku umum dalam kawasan tersebut sulit dilakukan atau tidak efektif.
Grafik 2.
GDP Perkapita Kawasan ASEAN
Sumber: ASEAN Economic Community Chartbook 2009
Dilihat dari sisi tingkat pendapatan perkapita, tidak dipungkiri bahwa kawasan Asia Timur saat ini masih dihadapkan pada disparitas tingkat pendapatan yang sangat tinggi. Perbedaan tahapan perkembangan ekonomi dan kekayaan sumber daya alam di antara negara dalam kawasan, yang menjadikan kawasan terbagi dalam kelompok negara berpendapatan tinggi dan rendah menjadi faktor utama terjadinya disparitas tersebut. Di antara negara di kawasan ini, tingkat GDP perkapita berada dalam rentang yang sangat lebar. Berdasarkan data ASEAN (ASEAN In Figures 2009), sebagai negara dengan pendapatan terendah dalam kawasan, GDP perkapita Mayanmar sebesar US$.465 pada tahun 2008, atau hanya 1,2 persen dari GDP perkapita Jepang (US$.38.559). Dengan kata lain pendapatan per-kapita Jepang mencapai hampir 83 kali lebih besar dari pendapatan per-kapita Myanmar, dan 51 kali lebih besar dibandingkan dengan Kamboja (GDP perkapita US$.756 pada tahun 2008). Sementara itu, China memiliki GDP perkapita US$.3.315 dan Korea Selatan US$.19.505 pada tahun 2008. Berdasarkan perkembangan tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat polarisasi tingkat pendapatan yang sangat tajam di kawasan ini. Polarisasi yang tajam ini dikawasan Eropa bahkan di kawasan Mercosur.
b)     Struktur dan Karakteristik Ekonomi
Struktur dan karakteristik ekonomi suatu negara akan berpengaruh pada bagaimana negara tersebut merespons shocks yang terjadi. Dalam situasi di mana suatu kawasan terdiri dari negara-negara yang berbeda dalam struktur dan karakteristik ekonomi, shock akan mempunyai pengaruh yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.
Berdasarkan perkembangan yang terjadi hingoa saat ini, tidak dipungkiri bahwa negara-negara di kawasan Asia Timur pada umumnya berbeda dalam hal struktur dan karakteristik ekonomi. Perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh perbedaan sumber daya alam antara satu negara dengan negara lain di kawasan ini. Sebagai contoh, terdapat beberapa negara di kawasan yang dikenal sebagai negara pengekspor minyak seperti Brunei, Malaysia, dan Indonesia. Namun di sisi lain, terdapat pula negara-negara yang dikenal sebagai negara pegimpor minyak neto. Dengan kondisi demikian, shock volatilitas harga minyak akan mempengaruhi perekonomian di kawasan ini secara berbeda pula. Selain tergantung pada posisinya apakah, sebagai eksportir atau importir minyak, dampak kenaikan harga minyak di kawasan ini akan tergan­tung pula pada tingkat diversifikasi energi dan tingkat teknologi yang digunakan dalam proses produksi barang dan jasa. Kenaikan harga minyak akan memberikan keuntungan bagi negara pengekspor minyak, sementara dampak bagi negara importir minyak akan tergantung pada tingkat kemajuan teknologi dalam proses produksi mereka. Mengingat bahwa negara importir minyak di kawasan ini tersebar di antara negara maju dan terbelakang, adanya shock kenaikan harga minyak akan mempunyai dampak yang berbeda yang diikuti dengan respons kebijakan yang berbeda pula.
Perbedaan struktur perekonomian negara-negara di kawasan ditan­dai pula oleh, perbedaan sumbangan sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan GDP mereka. Beberapa negara terlihat masih bertumpu terutama pada sektor pertanian dan sumber daya alam atau setidaknya sektor tersebut masih menjadi sektor yang penting dalam pembentukan GDP mereka. Sementara beberapa negara lain lebih menggantungkan pada sektor industri dan jasa dengan teknologi menengah hingga tinggi. Hal ini antara lain tercermin pada beberapa negara anggota ASEAN seperti Kamboja dan Laos yang masih menggantungkan perekono­miannya pada sektor pertanian. Sementara negara anggota kelompok ASEAN-5 dan negara anggota plus-3 lebih bertumpu pada sektor industri dan jasa. Dilihat dari sisi tingkat kemajuan teknologi, negara­negara yang bertumpu pada sektor industri dan jasa tersebut juga terbagi dalam sektor industri dan jasa berteknologi menengah dan tinggi.
Beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Thailand, dan Indonesia dapat dikelompokkan dalam negara yang bertumpu pada sector industri dan jasa berteknologi menengah, sementara Jepang, Korea, dan Singapura masuk dalam kelompok industri berteknologi tinggi. Sementara China, seiring dengan perkembangan ekonqmi dan arus investasi asing yang pesat saat ini telah mengalah pada industri berteknologi menengah hingga tinggi.
c)      Komposisi Perdagangan dan Mitra Dagang
Tingkat keterbukaan ekonomi suatu negara akan merefleksikan sejauh mana pengaruh permintaan luar negeri terhadap perekonomian negara tersebut. Hal ini menjadi relevan mengingat mayoritas negara-negara di kawasan Asia Timur saat ini adalah negara yang mengandalkan perdagangan (trade-driven) sebagaimana tercermin pada derajat keterbukaan ekonomi mereka yang cukup tinggi. Analisis  terkait dengan hal ini adalah untuk melihat bagaimana komposisi perdagangan dan mitra dagang negara-negara yang ada di suatu kawasan yang akan membentuk integarasi ekonomi. Apakah negara-negara tersebut mempunyai komposisi perdagangan dan mitra dagang yang sama sehingga mereka mempunyai pola shock yang simetris apabila   terjadi perubahan permintaan luar negeri di kawasan tersebut.
Dilihat  dari komposisi perdagangan, perkembangan saat ini menunjukkan adanya variasi komposisi produk ekspor antara kelompok negara satu dengan negara kelompok negara lain. Dalam kelompok negara ASEAN-6 komposisi ekspor maupun impornya didominasi oleh komoditi peralatan elektronik, yang diikuti dengan produk alat-alat mesin dan produk terkait dengan perminyakan. Pada kelompok negara plus-3 terutama Jepang dan Korea, komposisi ekspor kedua negara tersebut didominasi oleh produk elektronik tersebut saat ini menyumbang lebih sepertiga pendapatan ekspor mereka. Sementara negara-negara diluar kelompok ASEAN-6 dan plus-3, seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja, komposisi ekspor mereka masih didominasi oleh produk yang mengandalkan sumber daya alam.
Dari sisi tingkat perkembangan teknologi, sebagian besar produk elektronik di ASEAN-5 dan china terutama dalam bentuk produk antara lain (intermediate  elektronics products ), sementara Jepang dan Korea,  dalam bentuk produk jadi  (final elektronik  product). Perkembangan  aliran produk antara ASEAN-5 dan China dengan Jepang dan Korea tersebut, terjadi menyusul  tumbuhnyan jaringan produksi industri tersebut di negara-negara ASEAN -5  dan china yang dipicu oleh kegiatan  outsourching perusahaan multinasional.
Dilihat dari sisi mitra dagang, meskipun perdagangan intra-Asia   Timur terus meningkat dalam dekade terakhir, Amerika dan  Eropa masih menjadi mitra dagang utama bagi negara-negara di kawasan, baik untuk produk manufakur maupun non-manufakur. Sebagai Negara pengekspor produk elektronik, Jepang Korea, dan negara-negara ASEAN-5, masih mengandalkan Amerika dan Eropa sebagai salah satu   pasar utama. Dengan kondisi demikian, negara-negara tersebut akan dihadapkan pada shock  yang sama (simetri) apabila terjadi penurunan permintaan terhadap  produk tersebut di pasar Amerika dan Eropa. Sementara itu, bagi negara-negara yang menggantungkan ekspor pada  produk sumber daya alam relatif tidak terpengaruh dengan perkembangan  atau shock  tersebut.

(3)   Compensating Adjustment Mechanism
Kriteria OCA ketiga adalah melihat ada tidaknya alternatif dalam            mekanisme penyesuaian dalam merespons shock  yang simetris. Mengacu pada teori OCA,  alternatif mekanisme ini diperlukan sebagai kompensasi sehubungan dengan tidak adanya adjustment tools yang dapat dilakukan secara unilateral. Dangan kata lain, pembentukan currency union masih dimungkinkan sepanjang terdapat alternative mekanisme penyesuaian yang dilakukan negara-negara di kawasan apabila terjadi shock.
Analisis atas kriteria ini ditujukan untuk mengetahui kondisi saat ini apakah alternatif mekanisme penyesuaian tersebut tersedia di kawasan apabila negara anggota sepakat membentuk integrasi ekonomi secara penuh. Terkait dengan hal ini, terdapat tiga alternatif mekanisme penyesuaian yang dapat dilakukan oleh suatu kawasan, yaitu : (i) fleksibilitas harga dan tingkat upah, (ii) mobilitas faktor, khususnya tenaga kerja, dan (iii) transfer fiskal.
Alternatif mekanisme penyesuaian dalam bentuk fleksibilitas tingkat upah dan harga diperlukan dalam situasi di mana terjadi penurunan permintaan menyusul terjadinya shock. Fleksibilitas upah dan harga ini memungkinkan dilakukan penurunan biaya produksi oleh suatu perusahaan untuk mempertahankan pangsa pasar, mereka. Sementara adanya penyesuaian melalui mobilitas faktor produksi khususnya fleksibilitas dalam mobilitas tenaga kerja, akan memungkinkan tenaga kerja, berpindah dari sektor ekonomi yang terpengaruh oleh shock ke sektor atau industri yang membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Fleksibilitas  ini sebagai kompensasi sehubungan dengan tidak dimungkinkannya menerapkan kebijakan suku bunga dan nilai tukar secara uniteral seiring dengan pembentukan currency union dalam merespons shock yang terjadi. Selanjutnya adanya fiscal transfer adjustment akan memungkinkan negara dengan kondisi fiskal yang tidak terpengaruh oleh shock  untuk mentransfer kepada negara yang mengalami kesulitan fiskal karena shock. Alternatif  lain terkait dengan penyesuaian transfer fiskal ini adalah dengan membentuk fiscal federalism di mana badan supranasional akan menerapkan target-target fiskal pada kawasan tertentu, seperti halnya penerapan kebijakan fiskal pada daerah tertentu di suatu negara.
Berkaitan dengan fleksibilitas upah, dalam diskusi yang dilakukan oleh  Forteza dan Ramah, 2002, sebagaimana  dikutip dalam  key indicator 2005 ADB edisi 36, beberapa peneliti berpendapat bahwa semakin tinggi jumlah konvensi Internasional Labor Organization (ILO) yang diratifakasi  oleh suatu negara  tersebut semakin reskritif dan tidak fleksibel. Berdasarkan sumber ILO 2005, sebagaiman dikutip dalam indikator ADB tersebut, menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja negara-negara di Asia Timur yang telah meratifikasikan konvensi ILO adalah Indonesia, China, Korea, Malaysia, Philipina, Singapura, Thailan, dan Vietnam.
Selain telah merativikasikan ILO, negara-negara di kawasan Asia Timur juga telahj menerapkan kebijakan upah minimum di pasar tenaga kerja mereka seperti Kamboja, China, Indonesia, Korea, Laos, Malaysia (terbatas), Philipina, Thailand, dan Vietnam. Selain itu  menerapkan kebijakan tersebut, pasar tenaga kerja di negara-negara di kawasan juga di tandai adanya serikat pekerja yang kuat seperti di  Jepang, Korea, Indonesia, dan Philipina. Dengan kondisi  demikian, pasar tenaga kerja di. Asia Timur cenderung mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam melakukan penyesuaian   apabila terjadi shock di kawasan.
Berkaitan dengan pekerja imigran di Asia Timur, telah diketahui          bahwa beberapa negara yang mengalami keberhasilan ekonomi seperti  Singapura, Hong Kong, Taiwan, Malaysia, dan Korea telah menjadi tuan  rumah bagi pekerja asing  yang berasal dari seluruh negara di kawasan. Saat ini terdapat lebih dari lima juta pekerja imigran di kawasan Asia Timur,  di mana jumlah tersebut belum termasuk pekerja imigran gelap. Dengan perkembangan tersebut belum termasuk, tampak sekilas mobilitas tenaga kerja di kawasan cukup fleksibel. Hal ini sesuai dengan pandangan Eichengreen     dan Bayoumi (1999) sebagaimana dikutip  oleh Ngian dan Yuen (2002) yang menyatakan bahwa penyesuaian terhadap shock di Asia Timur lebih tinggi di banding Eropa, yang berarti pula bahwa pasar tenaga kerja di Asia Timur lebih fleksibel dibandingkan di Eropa.
Permasalahan lain terkait dengan fenomena tersebut adalah imigrasi tenaga kerja di kawasan, terjadi dari negara miskin ke negara kaya dengan kualifikasi yang rendah (low skilled labor). Banyak tenaga pekerja imigran tersebut berasal dari keluarga miskin dari negara yang relatif  belum maju seperti Indonesia, Bangladesh, Philipina, Laos, China, Nepal, dan Sri Lanka. Karakteristik pekerja imigran ini berpotensi menimbulkan permasalahan sosial dan ketegangan polotik antara negara dengan penyedia bekerja imigran. Kondisi pekerja imigran dengan kualitas rendah ini, menyebabkan mobilitas tenaga kerja tidak akan berjalan efektif.

(4)   Kriteria Konvergensi Nominal Maastricht: Penerapan di Asia Timur
Kriteria Maastricht ini merupakan kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh Masyarakat Uni Eropa menuju Monetary union. Melalui kriteria ini, kebijakan ekonomi negara yang akan  berpartisipasi dalam monetary union diharapkan mencapai tingkat konvergensi yang telah ditetapkan sebelum bergabung dalam monetary union. Hal ini penting mengingat negara-negara yang telah bergabung tidak mempunyai kewenangan lagi untuk melakukan kebijakan moneter dan nilai tukar secara unilateral. Perbandingan kondisi negara-negara di Asia Timur selama kurun waktu 2000-2004 dan 2005 dengan kriteria Maastricth menunjukkan bahwa negara-negara dalam kawasan ini tidak memenuhi seluruh kriteria Maastricth Threshold, dan sebagian besar negara tidak memenuhi dua kriteria tersebut dalam konteks Asia Timur. Tidak dipenuhinya kriteria ini membawa implikasi bahwa kebijakan moneter dalam perspektif regional untuk merespon shock di kawasan tidak efektif dilakukan. Dalam konteks ini, kawasan Asia Timur saat ini belum memenuhi prasyarat untuk melakukan penyatuan moneter.
Dengan mendasarkan pada perkembangan seperti dijelaskan tersebut di atas, kerja sama ekonomi dan keuangan Asia Timur telah berkembang pesat dengan intensitas yang semakin dalam. Kerjasama tersebut juga telah memberikan pijakan penting bagi upaya menuju integrasi ekonomi dan keuangan kawasan. Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa kerja sama tersebut belum mampu membawa negara-negara di kawasan pada tahapan atau prakondisi yang diperlukan dalam mewujudkan integrasi ekonomi dan keuangan secara penuh. Perkembangan saat ini menunjukkan bahwa negara-negara belum memenuhi konvergensi makroekonomi sebagai prasyarat menuju integrasi. Hal ini tercermin antara lain pada intensitas intra-kawasan yang relatif belum cukup tinggi apabila dibandingkan dengan kawasan yang telah membentuk integrasi ekonomi. Di samping itu, kawasan Asia Timur juga masih menghadapi beberapa permasalahan seperti perbedaan struktur ekonomi, perbedaan tingkat pendapatan yang tajam, permasalahan institusi seperti tidak adanya custom union, serta pasar tenaga kerja yang tidak cukup fleksibel. Konvergensi makroekonomi yang lemah ini tercermin pula pada penerapan kriteria konvergensi Maastricth di Asia Timur di mana negara-negara di kawasan tidak memenuhi Maastrich Threshold.
Terkait dengan pemenuhan konvergensi makroekonomi, meskipun saat ini tingkat konvergensi tersebut masih lemah, kemungkinan kawasan ini dapat memenuhi konvergensi makroekonomi – sebagai prasyarat menuju integrasi ekonomi – sangatlah terbuka setidaknya dalam periode jangka panjang. Tidak diragukan bahwa perkembangan yang terjadi di kawasan saat ini, dengan cakupan kerja sama yang semakin luas, orientasi ekspor yang kuat, human capital yang solid, serta didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam beberapa dekade terakhir, mencerminkan optimisme tersebut.


Tabel
Konvergensi Kriteria Maastricht


Negara
Inflasi
(%)


Suku Bunga
(%)


Deifisit Fiscal
(% GDP)


Utang Pemerintah
(% GDP)
Rata-Rata 2000-2004
2005
2008
2009
Rata-Rata 2000-2004
2005
2008
2009
Rata-Rata 2000-2004
2005
2008
2009
Rata-Rata 2000-2004
2005
Brunei
1,7
1,2
2,7
1,8
5,5
1,0
2,9
-
6,7
18,7
32,7
-0,4
-
-
Kamboja
2,7
5,8
19,7
-0,7
17,2
4,8
5,2
4,1
-3,3
1,1
0,1
2,4
63,3
43,0
Indonesia
8,5
10,5
11,3
5,0
17,1
11,8
11,2
7,5
-1,6
-0,5
0,7
-0,6
32,5
26,0
Laos
11.0
6,8
8,6
-0,5
28,8
6,8
6,1
5,7
-4,6
-4,5
-0,4
-
91,6
85,4
Malaysia
1,6
3,0
5,4
0,6
6,5
3,0
3,0
2,0
-5,2
-3,6
-4,8
-2,8
37,7
41,7
Myanmar
-
10,5
26,8
-
15,0
9,5
12,0
12,0
-
-
-
-
-
-
Philipina
4,8
7,6
9,3
3,3
10,3
5,9
5,9
3,0
-4,5
-2,7
-0,9
-3,9
69,7
66,9
Singapura
0,8
0,4
6,6
0,6
5,4
0,6
0,5
0,4
-0,6
-0,3
1,5
-0,3
100,9
102,9
Thailand
1,8
4,5
5,4
-0,9
6,4
2,00-3,00
1,35-1,88
0,65-0,75
-0,8
-0,6
-1,1
-4,4
38,4
47,7
Vietnam
4,3
8,6
11,7
1,3
9,3
7,7
7,9
10,4
-1,0
-1,6
-2,1
-4,6
6,5
8,3
Cina
1,3
1,8
-
-
9,3
11,0
-
-
-2,4
-1,3
-
-
21,0
19,2
Korea
3,5
2,7
-
-
6,7
5,6
-
-
-2,0
1,9
-
-
19,0
-
Jepang
-0,6
-0,3
-
-
1,9
1,7
-
-
-7,3
-5,8
-
-
127,6
155,5
Rata-Rata Asia Timur
2,8
4,8
10,7
1,2
10,7
5,8
6,1
5,6
-2,2
0,06
2,8
-1,8
55,3
59,7
Sumber: diolah dari ARIC Indicator ADB (www.adb.org), IFS-IMF (2005), Key Indikator World Bank (www.worldbank.org), ASEAN Statistic 2010 (www.asean.org)


B.     Kebijakan dalam Rangka Mewujudkan Integrasi Ekonomi dan Moneter Kawasan Asia Timur
Berbagai kebijakan telah ditempuh oleh masing-masing negara dalam rangka mewujudkan integrasi ekonomi dan moneter kawasan Asia Timur. Hal ini tercermin dari kebijakan dari negara-negara ASEAN+3 untuk melakukan liberalisasi sektor riil yang ditandai dengan ditandatanganinya kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area serta Comprehensive Economic Partnership antara ASEAN-Jepang dan ASEAN-Korea Selatan. Bahkan, ekonomi Asia Timur akan makin besar dengan hadirnya India. Tanggal 29 Juni 2005 lalu India  telah menandatangani Comprehensive Economic Co-operation Agreement dengan Singapura. Pada bulan November 2004, India dan ASEAN pun telah menandatangani kesepakatan India-ASEAN Regional Trade and Investment Area sebagai awal kerjasama India-ASEAN pada masa-masa mendatang.
Selain itu, khusus negara-negara intra ASEAN bahkan telah menyepakati terbentuknya suatu integrasi ekonomi yaitu ASEAN Economic Community (AEC) atau masyarakat ekonomi ASEAN. AEC semula direncanakan akan terlaksana secara penuh pada tahun 2020, namun bahkan dipercepat pelaksanaanya menjadi tahun 2015. Percepatan ini dilakukan dengan maksud untuk mengurangi risiko berpindahnya arus modal asing di tengah meningkatnya persaingan ekonomi regional seiring pesatnya pertumbuhan ekonomi India dan China. Di samping itu, percepatan pembentukan kelompok ekonomi negara-negara ASEAN agar lebih efisien dan tumbuh lebih cepat.
Selain di sektor riil, kebijakan dalam rangka perwujudan integrasi ekonomi dan moneter kawasan Asia Timur ini juga dilakukan di sektor keuangan yang dilakukan melalui pengembangan pasar keuangan regional, khususnya pasar modal. Hal ini telah dijalankan melalui berbagai inisiatif untuk menciptakan penawaran dan permintaan terhadap sekuritas Asia, misalnya penerbitan indeks saham ASEAN, obligasi berdenominasi mata uang lokal oleh lembaga multilateral di beberapa negara ASEAN+3, Asian Bond Fund-1 (ABF-1) dan ABF-2 serta peningkatan infrastruktur keuangan melalui Asian Bond Market Initiative (ABMI) maupun inisiatif ASEAN lainnya.

C.    Peluang dan Tantangan Integrasi Ekonomi Asia Timur bagi Indonesia
Integrasi ekonomi dan moneter kawasan Asia Timur digambarkan sebagai satu kawasan ekonomi tanpa frontier (batas antar negara) dimana setiap penduduk maupun sumber daya dari setiap negara anggota bisa bergerak bebas (sebagaimana dalam negeri sendiri).  Tujuannya adalah untuk mencapai tingkat kegunaan yang paling optimal yang pada akhirnya akan mendorong tercapainya tingkat kemakmuran (kesejahteraan) yang sama (merata) diantara negara-negara anggota.
Integrasi ekonomi dan moneter kawasan Asia Timur tentunya akan membawa dampak yang luar biasa besar, tidak hanya dari sisi ekonomi tetapi juga dalam segala aspek kehidupan lainnya. Dari sisi ekonomi, ASEAN+3 (ASEAN plus 3China, Jepang dan Korea) akan menghasilkan pasar yang jauh lebih besar dengan populasi lebih dari 3 milyar penduduk, sehingga dampaknya pun akan jauh lebih besar.
Peluang bagi Indonesia tentunya sangat besar untuk ikut ambil bagian kerja sama ini dalam rangka memperoleh keuntungan dari liberalisme perdangan dan keuangan. Berbagai manfaat atau keuntungan tersebut antara lain:
1)      Sharing Risiko
Integrasi keuangan akan memperluas alternatif investasi sekaligus alternatif bagi diversifikasi risiko antar berbagai aset keuangan serta memperlancar kebutuhan konsumsi secara inter-temporal. Sharing risiko antar kawasan mampu meningkatkan spesialisasi produksi. Peningkatan instrumen keuangan dan kepemilikan asset antar negara yang tercipta dari adanya integrasi keuangan mampu memperluas kemungkinan untuk melakukan diversifikasi portofolio bagi risiko yang bersifat unsystemic.
2)      Meningkatkan Alokasi Modal
Secara umum telah dipahami bahwa integrasi keuangan memungkinkan terjadinya alokasi modal yang lebih baik termasuk di Indonesia. Hilangnya hambatan-hambatan perdangan asset keuangan, kliring, dan setlemen pada akhirnya akan meningkatkan alokasi modal yang dapat diinvestasikan oleh penanam modal. Di samping itu, integrasi keuangan akan meningkatkan  keyakinan investor karena mereka mempunyai kesempatan untuk menanamkan modalnya di berbagai negara yang mereka anggap menguntungkan.
3)      Mendorong Pertumbuhan Ekonomi
Integrasi ekonomi dan keuangan akan mendorong pembangunan sektor riil dan sektor keuangan lebih cepat dan akhirnya memacu pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana kita ketahui bahwa Jalur utama bagi pertumbuhan ekonomi adalah melalui perkembangan dan peningkatan sektor riil dan sektor keuangan. Integrasi ekonomi dan keuangan memungkinkan terjadinya lalu-lintas modal dan faktor produksi lainnya yang lebih pesat untuk kegiatan investasi.
Selain itu, ada beberapa tantangan yang dihadapi Indonesia dan tentunya sangat besar dalam kerangka integrasi ekonomi dan keuangan kawasan Asia Timur ini. Adapun tantangan yang dihadapi oleh Indonesia antara lain:
1)      Perdagangan antar negara akan berlangsung sangat bebas, jauh lebih bebas dari era AFTA. Produk-produk Indonesia akan sepenuhnya bersaing dengan produk-produk negara lainnya.  Dengan kualitas yang ada saat ini serta tingginya pajak dan pungutan sebagaimana banyak dikeluhkan pengusaha, niscaya akan sangat sulit bagi barang Indoneisa untuk bisa bersaing.  Vietnam dan Kamboja memiliki keunggulan dalam hal tenaga kerja yang lebih murah, sedangkan Singapura, Malaysia dan Thailand sangat bersaing dalam kualitas dan juga manajemen.
2)      Pergerakan tenaga kerja akan terjadi secara bebas yang bisa memberikan dampak luar biasa bagi Indonesia.  Di satu sisi, persaingan tenaga kerja di dalam negeri akan sangat kompetitif.  Pekerja kita tidak hanya akan bersaing dengan sesama WNI, tetapi juga dengan seluruh warga ASEAN+3.  Konsekuensinya, tenaga kerja Indonesia harus memiliki kemampuan yang lebih tinggi atau minimal sama dengan tenaga kerja luar agar bisa memperoleh pekerjaan yang layak.  Padahal, kita tahu pasti bahwa kualitas pendidikan kita termasuk yang paling buruk diantara negara-negara ASEAN. 
3)      Persaingan untuk menarik investasi bagi kelangsungan pembangunan juga akan semakin berat dengan adanya prinsip free movement of capital.  Jika dilihat dari segi ini, kasus hengkangnya Sony, Aiwa, Nike dan perusahaan lainnya dari Indonesia adalah fenomena yang sangat wajar dan tidak perlu ditanggapi secara emosional.  Bahkan, bukan tidak mungkin pengusaha-pengusaha nasional kita justru akan menanamkan modalnya di negara-negara anggota ASEAN+3 lain demi mencapai efisiensi yang lebih baik. Adanya konsentrasi aliran modal ke negara tertentu yang memberikan keuntungan yang besar tidak menutup kemungkinan akan terjadi dalam integrasi ini.
Di satu sisi, integrasi ekonomi ASEAN+3 memberikan peluang yang besar bagi Indonesia untuk maju berkembang mencapai kemakmuran bersama anggota ASEAN+3 lainnya. Di lain pihak, proses integrasi juga bisa menjadi ancaman besar bagi ekonomi Indonesia bila pemerintah dan rakyat Indonesia tidak mempersiapkan diri dengan baik. Yang patut diantisipasi adalah jika manfaat dari integrasi tersebut tidak akan merata di antara anggota, tetapi terjadi terutama kepada anggota yang paling maju dalam kelompok. Kalau ini yang terjadi, ekonomi negara-negara ASEAN+3 tidak akan semakin konvergen, tetapi justru semakin divergen.


PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a)      Kerja sama ekonomi dan keuangan Asia Timur telah berkembang pesat dengan intensitas yang semakin dalam. Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa kerja sama tersebut belum mampu membawa negara-negara di kawasan pada tahapan atau prakondisi yang diperlukan dalam mewujudkan integrasi ekonomi dan keuangan secara penuh. Perkembangan saat ini menunjukkan bahwa negara-negara belum memenuhi konvergensi makroekonomi sebagai prasyarat menuju integrasi. Di samping itu, kawasan Asia Timur juga masih menghadapi beberapa permasalahan seperti perbedaan struktur ekonomi, perbedaan tingkat pendapatan yang tajam, permasalahan institusi seperti tidak adanya custom union, serta pasar tenaga kerja yang tidak cukup fleksibel. Konvergensi makroekonomi yang lemah ini tercermin pula pada penerapan kriteria konvergensi Maastricth di Asia Timur di mana negara-negara di kawasan tidak memenuhi Maastrich Threshold.
b)      Berbagai kebijakan telah ditempuh oleh masing-masing negara dalam rangka mewujudkan integrasi ekonomi dan moneter kawasan Asia Timur. Hal ini tercermin dari kebijakan dari negara-negara ASEAN+3 untuk melakukan liberalisasi sektor riil yang ditandai dengan ditandatanganinya kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area serta Comprehensive Economic Partnership antara ASEAN-Jepang dan ASEAN-Korea Selatan dan kerjasama Singapura dengan India  dalam Comprehensive Economic Co-operation Agreement, serta  India dan ASEAN dalam India-ASEAN Regional Trade and Investment Area.   
Selain di sektor riil, kebijakan dalam rangka perwujudan integrasi ekonomi dan moneter kawasan Asia Timur ini juga dilakukan di sektor keuangan yang dilakukan melalui pengembangan pasar keuangan regional, khususnya pasar modal. Hal ini telah dijalankan melalui berbagai inisiatif untuk menciptakan penawaran dan permintaan terhadap sekuritas Asia, misalnya penerbitan indeks saham ASEAN, obligasi berdenominasi mata uang lokal oleh lembaga multilateral di beberapa negara ASEAN+3, Asian Bond Fund-1 (ABF-1) dan ABF-2 serta peningkatan infrastruktur keuangan melalui Asian Bond Market Initiative (ABMI) maupun inisiatif ASEAN lainnya.
c)      Peluang bagi Indonesia tentunya sangat besar untuk ikut ambil bagian kerja sama ini dalam rangka memperoleh keuntungan dari liberalisme perdangan dan keuangan. Berbagai manfaat atau keuntungan tersebut antara lain sharing risiko, meningkatkan alokasi modal, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain peluang, ada pula tantangan yang dihadapi oleh Indonesia antara lain:
-          Perdagangan antar negara akan berlangsung sangat bebas, jauh lebih bebas dari era AFTA. Produk-produk Indonesia akan sepenuhnya bersaing dengan produk-produk negara lainnya.  Dengan kualitas yang ada saat ini serta tingginya pajak dan pungutan sebagaimana banyak dikeluhkan pengusaha, niscaya akan sangat sulit bagi barang Indoneisa untuk bisa bersaing.
-          Pergerakan tenaga kerja akan terjadi secara bebas menimbulkan persaingan tenaga kerja di dalam negeri akan sangat kompetitif.  Konsekuensinya, tenaga kerja Indonesia harus memiliki kemampuan yang lebih tinggi atau minimal sama dengan tenaga kerja luar agar bisa memperoleh pekerjaan yang layak.  Padahal, kita tahu pasti bahwa kualitas pendidikan kita termasuk yang paling buruk diantara negara-negara ASEAN.
-          Persaingan untuk menarik investasi bagi kelangsungan pembangunan juga akan semakin berat dengan adanya prinsip free movement of capitalAdanya konsentrasi aliran modal ke negara tertentu yang memberikan keuntungan yang besar tidak menutup kemungkinan akan terjadi dalam integrasi ini.



B.     Implikasi
Dari beberapa kesimpulan di atas, maka dapat implikasi yang harus dilakukan, sebagai berikut:
a)      Pemerintah dan masyarakat harus mampu mempersiapkan diri dengan memperkokoh ekonomi nasional. Kebijakan makro ekonomi dalam negeri harus lebih berpihak kepada pengusaha lokal dalam rangka memperkuat industri nasional.
b)      Peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia harus terus dilaksanakan melalui peningkatan akses pendidikan dan pelatihan keterampilan bagi masyarakat.
c)      Menciptakan kondisi atau iklim investasi yang sehat serta keamanan yang kondusif perlu ditingkatkan untuk mencegah capital flight.

DAFTAR PUSTAKA


Anonim, 2003. ASEAN Statistical Year Book 2003. ASEAN Secretariat, Jakarta.
Anonim, 2004. ASEAN Statistical Year Book 2004. ASEAN Secretariat, Jakarta.
Anonim, 2007. Statistical Year Book for Asia and the Pacific 2007. ASEAN Secretariat, Jakarta.
Anonim, 2009. ASEAN Economic Community Chartbook 2009. ASEAN Secretariat, Jakarta.
Anonim, 2010. ASEAN Community In Figures 2009. ASEAN Secretariat, Jakarta.
Tim Bank Indonesia, 2007. Integrasi Keuangan dan Moneter di Asia Timur: Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia. Editor: Syamsul Arifin, R. Winantyo, Yati Kurniati. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Wijoyo Santoso, dkk. 2008. Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012: Integrasi Ekonomi ASEAN dan Prospek Perekonomian Nasional. Bank Indonesia, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar